Kamis, 27 Desember 2012

Dampak Outsourcing terhadap Kinerja Karyawan


       Pengaruh globalisasi yang mengidolakan instanisasi menyebabkan adanya perubahan pola hubungan kerja. Baik dari sisi pekerja atau pengusaha. Desakan persaingan global membuat perusahaan menambah metabolismenya, sehingga hak pekerja dipertanyakan keseriusannya. Hal ini turut mendorong maraknya system outsourcing. 

          Outsourcing sendiri secara harfiah berasal dari kata “out” yang berarti keluar dan “source” yang berarti sumber. Dari pengertian tersebut, maka dapat ditarik suatu definisi operasional mengenai outsourcing yaitu ; suatu bentuk perjanjian kerja sama antara perusahaan A sebagai pengguna jasa dengan perusahaan B sebagai penyedia jasa, dimana perusahaan A meminta kepada perusahaan B untuk menyediakan tenaga kerja yang diperlukan untuk bekerja di perusahaan A dengan membayar sejumlah uang, namun upah atau gaji tetap dibayarkan oleh perusahaan B kepada tenga kerja yang disuplay. Tenaga kerja inilah yang disebut dengan pekerja outsourcing.

         Istilah outsourcing mulai ramai diperdebatkan di Indonesia, pasca diterbitkannya Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketengakerjaan, dimana aturan tersebut ditengarai sebagai palang pintu lahirnya sistem kerja outsourcing yang sekarang dipraktekkan dimana-mana. Sebenarnya, didalam undang-undang ini, tidaklah mengenal penyebutan istilah outsourcing. Pengertian dari outsourcing itu sendiri dapat dilihat dalam beberapa ketentuan. Salah satunya adalah yang tertuang dalam pasal 64 Undang-undang ketengakerjaan ini, yang isinya menyatakan bahwa outsourcing merupakan suatu perjanjian kerja yang dibuat antara pengusaha dengan tenaga kerja, dimana perusahaan tersebut dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis. 

          Sementara dalam konteks hukum, pada pasal 1601 b KUH-Perdata, outsoucing disamakan dengan perjanjian pemborongan pekerjaan. Sehingga pengertian outsourcing secara tersirat dapat diartikan sebagai sebuah perjanjian, dimana pemborong mengikat diri untuk membuat suatu kerja tertentu bagi pihak lain yang memborongkan dengan menerima bayaran tertentu dan pihak yang lain yang memborongkan mengikatkan diri untuk memborongkan pekerjaan kepada pihak pemborong dengan bayaran tertentu.
Pekerjaan disub-kontrakkan (outsourcing) melahirkan persoalan, pada kenyataan sehari-hari outsourcing selama ini diakui lebih banyak merugikan pekerja/buruh, karena hubungan kerja selalu dalam bentuk tidak tetap/kontrak (PKWT), upah lebih rendah, jaminan sosial kalaupun ada hanya sebatas minimal, tidak adanya job security serta tidak adanya jaminan pengembangan karir dan lain-lain sehingga memang benar kalau dalam keadaan seperti itu dikatakan praktek outsourcing akan menyengsarakan pekerja/buruh dan membuat kaburnya hubungan industrial. 

      Sejumlah tesis yang mendukung sistem outsourcing selalu mengkaitkannya dengan perkembangan global dewasa ini. Bahwa di era globalisasi, sangat sulit untuk menghambat pergerakan arus modal yang begitu cepat dari suatu negara ke negara lain, dari suatu daerah ke daerah lain. Oleh karenanya, maka seluruh infra struktur hukum, sosial, ekonomi harus memberi kemudahan bagi laju pergerakan modal. Namun paradigma ini telah menempatkan modal menjadi segalanya. Manusia seakan diharuskan mengabdi kepada kekuatan modal. Akibatnya, modal bukan saja menjadi liar dan lepas dari nilai-nilai moral kemanusiaan, juga melahirkan kesenjangan yang semakin menganga antara pemilik modal dan pekerja/buruh, antara yang kaya dan miskin serta antara negara maju dan negara yang sedang berkembang.

      Selain itu, Praktek outsourcing dinilai mampu menyerap lapangan kerja dan mengatasi pengangguran berdasarkan asumsi bahwa jika pola system kerja outsourcing yang diterapkan, maka secara langsung membuka kesempatan bagi siapa saja untuk berkompetisi. Bahkan bagi mereka yang sebelumnya berada pada sektor informal, dapat terseret kedalam sector formal yang lebih terproteksi dan menjanjikan. Namun, timbul permasalahan terhadap pola adaptasi kerja yang merupakan salah satu kelemahan system kerja outsourcing ini. Harapan untuk meningkatkan kinerja dan keuntungan perusahaan, justru akan menjadi boomerang dikemudian hari.
Outsourcing juga dianggap akan lebih mampu menyerap tenaga kerja tanpa diskriminasi. Alasan ini lebih kepada mengugat pola praktek perusahaan keluarga (closed corporation) yang lebih mengukur serapan tenaga kerja suatu perusahaan berdasarkan garis keturunan dan hubungan kekeluargaan yang menghalangi perusahaan untuk memenuhi mekanisme pasar. Dengan praktek outsourcing, tradisi yang sudah usang ini akan secara otomatis terkikis. Secara prinsip, outsourcing akan lebih membuka persaingan tenaga kerja yang lebih kompetitif sesuai dengan kehendak dan kebutuhan pasar tenaga kerja.

Namun, Hampir semua elemen gerakan serikat buruh dengan tegas menyatakan penolakannya terhadap outsourcing. Ada banyak alasan yang mengemuka atas penolakan tersebut yang kesemuanya bermuara pada tidak adanya perlindungan yang bersifat mendasar terhadap hak-hak pekerja di tempat kerja serta keadilan dan kesejahteraan yang semakin jauh dari kehidupan pekerja. 

Pertama, sistem kerja outsourcing membuat status hubungan kerja buruh menjadi tidak jelas. jika seseorang bekerja pada perusahaan A (second company), dimana sebelumnya disalurkan oleh perusahaan B (parent company), maka ketika terjadi pelaggaran hak-hak normatif (upah dibayar lebih rendah dari UMP/UMK, jam kerja yang berlebihan, lembur yang tidak dibayar, tunjangan hari raya yang tidak diberikan, pelarangan cuti, PHK, dll), sulit untuk memproses hal hal tersebut. Bahkan kerap terjadi, baik perusahaan A maupun perusahaan B, saling lempar tanggung jawab terhadap tuntutan yang diinginkan.

Kedua, outsourcing berakibatkan kepada semakin lemahnya posisi buruh dalam perusahaan. Hal tersebut dilatar belakangi oleh status hubungan kerja yang sifatnya sementara dengan masa kerja yang ditetapkan selama kurung waktu tertentu (1 tahun, 2 tahun, bahkan ada yang hanya berkisar 3-4 bulan). Hal ini berakibat semakin kuatnya posisi pengusaha jika berhadapan dengan pekerja, sehingga memberikan ruang yang sangat besar bagi pengusaha tersebut untuk menindas buruh dalam perusahaannya. Pengusaha dapat dengan sewenang-wenang memberhentikan buruh (PHK) sesuai dengan kemauannya. Ketakutan berserikat, berkumpul, menuntu perbaikan, serta menyatakan pendapat-pun menjadi terbatasi akibat posisi tawar buruh yang lemah ini, ditambah ancaman PHK yang sewaktu-waktu dapat dilakukan oleh pengusaha.

Ketiga, outsourcing akan menghilangkan hak serta jaminan masa depan buruh. Sederhananya, tidak adanya jaminan biaya hidup yang harus dihadirkan oleh perusahaan jika suatu saat nanti buruh sudah tidak memiliki produkstivitas kerja yang baik dan maksimal akibat factor fisik (pension), dan atau penghargaan kerja yang menjadi kewajiban pengusaha akibat terputusnya hubungan kerja (PHK).
Keempat, outsourcing mempraktekkan dehumanisasi atau pengingkaran hak dasar seseorang layaknya manusia yang bebas dan merdeka. System kerja outsourcing ini sama sekali tidak menghargai buruh layaknya sebagai seorang manusia. Sebab, outsourcing tidak lebih dari bentuk perdagangan manusia kepada manusia lainnya (trafficking). Dimana buruh tak ubahnya seperti barang yang diperjual belikan oleh pengusaha.

Kelima, outsourcing akan mengakibatkan tingkat pengangguran yang semakin tinggi. Hal ini disebabkan oleh syarat kerja outsourcing yang menekankan keterampilan kerja (labour skill) yang kompetitif, sementara kondisi buruh di Indonesia sama sekali belum memadai untuk memiliki keterampilan multi-bidang. Misalnya saja seorang buruh disektor informal yang tiba-tiba harus diserap oleh sector formal, maka akan menjadi kontra-produktif akibat adaptasi yang membutuhkan waktu yang lama.

Keenam, outsourcing akan semakin meminimalisir fungsi dan peran serikat (worker’s organization) dalam perusahaan, bahkan akan dihilangkan sama sekali jika perusahaan menghendakinya. Hal tersebut dikarenakan hubungan kerja kita dalam perusahaan akan lebih bersifat individu, antara pekerja dengan pengusaha. Dengan demikian upaya perjuangan hak dan kepentingan kita melalui serikat, akan semakin terbatasi secara langsung, terlebih ketika ancaman PHK oleh perusahaan semakin mudah dilakukan setiap saat akibat posisi tawar yang lemah tersebut.
Pada prinsipnya, pekerjaan yang di-outsource adalah memang bukan pekerjaan inti dari perusahaan. Awalnya, karena dianggap bukan sebagai pekerjaan inti, maka seharusnya pekerjaan tersebut tdak rutin ada dalam perusahaan. Namun kemudian berkembang konsep, bahwa pekerjaan outsource mungkin saja akan terus ada sebab pekerjaan outsource tidak sama dengan pekerjaan project yang memiliki batas waktu.Sementara itu, peraturan pemerintah dengan batas perpanjangan waktu masih mendukung konsep lama.

       Jenis Pekerjaan Masih akan terus menjadi perdebatan dan akan tetap sulit dilakukan dalam mendefinisikan secara tegas apakah suatu pekerjaan yang dilakukan oleh seorang pekerja termasuk dalam kategori kegiatan pokok (core business) atau kegiatan penunjang. UUK No. 13/2003 itu sendiri hanya memberikan sedikit penjelasan tentang kegiatan penunjang tapi tidak memberikan penjelasan yang komprehensif tentang apa yang dimaksud dengan kegiatan pokok.
Kendati UU No. 13 mengisyaratkan agar syarat perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh yang dioutsourcing sekurang-kurangnya sama dengan perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi kerja atau sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku adalah hal yang sangat sulit untuk diwujudkan. Kalangan pengusaha melakukan pola hubungan kerja seperti itu justru dengan pertimbangan bahwa biayanya lebih murah dan resikonya lebih ringan. 

          Harus diakui bahwa untuk jenis pekerjaan yang bersifat sementara (temporary job) memang tidak mungkin dilakukan dengan mengangkat seorang pegawai tetap. Tinggal bagaimana membuat aturan yang jelas dan ketat tentang jenis-jenis pekerjaan yang bersifat sementara serta jangka waktu paling lama untuk menjalin hubungan kerja yang bersifat kontrak tersebut. Juga perubahan status dari karyawan kontrak menjadi karyawan tetap serta syarat-syarat kerja karyawan kontrak yang tidak boleh kurang dari yang diberlakukan terhadap karyawan tetap. 




Pengertian outsourcing

Outsourcing terbagi atas dua suku kata: out dan sourcing. Sourcing berarti mengalihkan kerja, tanggung jawab dan keputusan kepada orang lain. Outsourcing dalam bahasa Indonesia berarti alih daya. Dalam dunia bisnis, outsourcing atau alih daya dapat diartikan sebagai penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan yang sifatnya non-core atau penunjang oleh suatu perusahaan kepada perusahaan lain melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh.
Mengapa kita harus mengalihkan pekerjaan yang sifatnya non-core? Karena perusahaan lain dapat mengerjakannya dengan lebih murah, lebih cepat, lebih baik dan yang lebih utama lagi adalah... karena kita punya pekerjaan lain yang sifatnya core yang lebih penting.

Sistem Kerja Outsourcing

Sistem perekrutan tenaga kerja outsourcing sebenarnya tidak jauh berbeda dengan sistem perekrutan karyawan pada umumnya. Perbedaannya, karyawan ini direkrut oleh perusahaan penyedia tenaga jasa, bukan oleh perusahaan yang membutuhkan jasanya secara langsung. Nanti, oleh perusahaan penyedia tenaga jasa, karyawan akan dikirimkan ke perusahaan lain (klien) yang membutuhkannya.

Dalam sistem kerja ini, perusahaan penyedia jasa outsource melakukan pembayaran terlebih dahulu kepada karyawan. Selanjutnya mereka menagih ke perusahaan pengguna jasa mereka.

Karyawan outsourcing biasanya bekerja berdasarkan kontrak, dengan perusahaan penyedia jasa outsourcing, bukan dengan perusahaan pengguna jasa.

Bagi anda yang berniat mencari pekerjaan via perusahaan outsourcing, sebelum menanda tangani perjanjian kerja, ada baiknya anda perhatikan sejumlah point berikut ini:

• Jangka waktu perjanjian.

Pastikan perjanjian sesuai dengan masa kerja yang ditawarkan. Perjanjian kerja antara karyawan outsourcing dengan perusahaan penyedia jasa biasanya mengikuti jangka waktu perjanjian kerjasama antara perusahaan penyedia jasa dengan perusahaan pemberi kerja. Hal ini dimaksudkan apabila perusahaan pemberi kerja hendak mengakhiri kerja samanya dengan perusahaan penyedia jasa, maka pada waktu yang bersamaan, berakhir pula kontrak kerja antara karyawan dengan perusahaan pemberi kerja.

• Jam kerja.

Peraturan tentang jam mulai bekerja dan berakhir, dan waktu istirahat .

Gaji dan tunjangan.

Jumlah yang akan diterima serta waktu pembayaran sesuai dengan yang telah disepakati, tidak dipotong oleh perusahaan penyedia jasa outsourcing.

• Posisi dan Tugas.

Pastikan posisi dalam perusahaan dan apa saja tugas serta tanggung jawab anda selama bekerja di perusahan lain. • Lokasi kerja.

 Dasar Hukum Outsourcing
Dasar hukum outsourcing adalah Undang-Undang No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan:
Pasal 64
Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa Pekerja/Buruh yang dibuat secara tertulis.

Berdasarkan ketentuan pasal di atas, outsourcing dibagi menjadi dua jenis:
  1. Pemborongan pekerjaan
    Yaitu pengalihan suatu pekerjaan kepada vendor outsourcing, dimana vendor bertanggung jawab sepenuhnya terhadap pekerjaan yang dialihkan beserta hal-hal yang bersifat teknis (pengaturan oerasional) maupun hal-hal yang bersifat non-teknis (administrasi kepegawaian). Pekerjaan yang dialihkan adalah pekerjaan yang bisa diukur volumenya, dan fee yang dikenakan oleh vendor adalah rupiah per satuan kerja (Rp/m2, Rp/kg, dsb.). Contoh: pemborongan pekerjaan cleaning service, jasa pembasmian hama, jasa katering, dsb.
  2. Penyediaan jasa Pekerja/Buruh
    Yaitu pengalihan suatu posisi kepada vendor outsourcing, dimana vendor menempatkan karyawannya untuk mengisi posisi tersebut. Vendor hanya bertanggung jawab terhadap manajemen karyawan tersebut serta hal-hal yang bersifat non-teknis lainnya, sedangkan hal-hal teknis menjadi tanggung jawab perusahaan selaku pengguna dari karyawan vendor.
Untuk pembahasan selanjutnya, istilah outsourcing akan disesuaikan dengan jenis kedua, yaitu outsourcing dalam bentuk penyediaan jasa pekerja/buruh.


Posisi atau Pekerjaan yang Tidak Seharusnya Dialihkan

      Posisi penting seperti supervisor atau manajer sebaiknya tidak dialihkan kepada vendor outsourcing karena perusahaan membutuhkan komitmen penuh dari mereka untuk mengawasi pekerjaan-pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya.
Posisi supervisor keatas biasanya adalah karyawan yang sudah mengabdi lama di perusahaan, sehingga mereka mempunyai pengetahuan mendalam mengenai produk atau jasa yang dihasilkan perusahaan, mesin dan peralatan kerja, karakteristik bahan baku, serta bagaimana melakukan suatu pekerjaan dengan benar.
Posisi dengan tingkat pengetahuan seperti ini harus dipertahankan sebagai karyawan tetap perusahaan, karena nilainya yang tinggi dan sulit digantikan.


Keuntungan Melakukan Outsourcing
Beberapa keuntungan utama yang menjadi dasar keputusan untuk melakukan outsourcing adalah:
  1. Fokus pada kompetensi utama
    Dengan melakukan outsourcing, perusahaan dapat fokus pada core-business mereka. Hal ini dapat dilakukan dengan memperbaharui strategi dan merestrukturisasi sumber daya (SDM dan keuangan) yang ada.
    Perusahaan akan mendapatkan keuntungan dengan memfokuskan sumber daya ini untuk memenuhi kebutuhan pelanggan, dengan cara mengalihkan pekerjaan penunjang diluar core-business perusahaan kepada vendor outsourcing dan memfokuskan sumber daya yang ada sepenuhnya pada pekerjaan strategis yang berkaitan langsung dengan kepuasan pelanggan atau peningkatan pendapatan perusahaan.
  2.  Penghematan dan pengendalian biaya operasional
    Salah satu alasan utama melakukan outsourcing adalah peluang untuk mengurangi dan mengontrol biaya operasional. Perusahaan yang mengelola SDM-nya sendiri akan memiliki struktur pembiayaan yang lebih besar daripada perusahaan yang menyerahkan pengelolaan SDM-nya kepada vendor outsourcing. Hal ini terjadi karena vendor outsourcing bermain dengan “economics of scale” (ekonomi skala besar) dalam mengelola SDM.
    Sama halnya dengan perusahaan manufaktur, semakin banyak produk yang dihasilkan, semakin kecil biaya per-produk yang dikeluarkan. Bagi vendor outsourcing, semakin banyak SDM yang dikelola, semakin kecil juga biaya per-orang yang dikeluarkan.
    Selain itu, karena masalah ketenagakerjaan adalah core-business, efisiensi dalam mengelola SDM menjadi perhatian utama vendor outsourcing.
  3. Memanfaatkan kompetensi vendor outsourcing
    Karena core-business-nya dibidang jasa penyediaan dan pengelolaan SDM, vendor outsourcing memiliki sumber daya dan kemampuan yang lebih baik dibidang ini dibandingkan dengan perusahaan. Kemampuan ini didapat melalui pengalaman mereka dalam menyediakan dan mengelola SDM untuk berbagai perusahaan.
    Saat menjalin kerjasama dengan vendor outsourcing yang profesional, perusahaan akan mendapatkan keuntungan dengan memanfaatkan keahlian vendor outsourcing tersebut untuk menyediakan dan mengelola SDM yang dibutuhkan oleh perusahaan.
  4. Perusahaan menjadi lebih ramping dan lebih gesit dalam merespon pasar
    Setiap perusahaan, baik besar maupun kecil, pasti memiliki keterbatasan sumber daya. Dengan melakukan outsourcing, perusahaan dapat mengalihkan sumber daya yang terbatas ini dari pekerjaan-pekerjaan yang bersifat non-core dan tidak berpengaruh langung terhadap pendapatan dan keuntungan perusahaan kepada pekerjaan-pekerjaan strategis
  5. Mengurangi resiko
    Dengan melakukan outsourcing, perusahaan mampu mempekerjakan lebih sedikit karyawan, dan dipilih yang intinya saja. Hal ini menjadi salah satu upaya perusahaan untuk mengurangi resiko terhadap ketidakpastian bisnis di masa mendatang.
    Jika situasi bisnis sedang bagus dan dibutuhkan lebih banyak karyawan, maka kebutuhan ini tetap dapat dipenuhi melalui outsourcing. Sedangkan jika situasi bisnis sedang memburuk dan harus mengurangi jumlah karyawan, perusahaan tinggal mengurangi jumlah karyawan outsourcingnya saja, sehingga beban bulanan dan biaya pemutusan karyawan dapat dikurangi.
  6. Meningkatkan efisiensi dan perbaikan pada pekerjaan-pekerjaan yang sifatnya non-core
    Saat ini banyak sekali perusahaan yang memutuskan untuk mengalihkan setidaknya satu pekerjaan non-core mereka dengan berbagai alasan.
    Mereka umumnya menyadari bahwa merekrut dan mengkontrak karyawan, menghitung dan membayar gaji, lembur dan tunjangan-tunjangan, memberikan pelatihan, administrasi umum serta memastikan semua proses berjalan sesuai dengan peraturan perundangan adalah pekerjaan yang rumit, banyak membuang waktu, pikiran dan dana yang cukup besar.
    Mengalihkan pekerjaan-pekerjaan ini kepada vendor outsourcing yang lebih kompeten dengan memberikan sejumlah fee sebagai imbalan jasa terbukti lebih efisien dan lebih murah daripada mengerjakannya sendiri.
Penyebab Gagalnya Proyek Outsourcing
  1. Kurangnya komitmen, dukungan dan keterlibatan pihak manajemen dalam pelaksanaan proyek outsourcing
    Tanpa keterlibatan dari pihak manajemen dalam mencapai tujuan jangka pendek maupun jangka panjang proyek outsourcing, proyek outsourcing akan berjalan tanpa arahan yang jelas dan bahkan menyimpang dari strategi dan tujuan awal perusahaan.
  2. Kurangnya pengetahuan mengenai siklus outsourcing secara utuh dan benar
    Kurangnya pengetahuan akan outsourcing secara utuh dan benar dapat mengakibatkan proyek outsourcing gagal memenuhi sasaran dan bahkan merugikan perusahaan. Hal ini terjadi karena perusahaan gagal memilih vendor yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan perusahaan.
  3. Kurang baiknya cara mengkomunikasikan rencana outsourcing kepada seluruh karyawan
    Komunikasi harus dilakukan secara efektif dan terarah agar tidak muncul rumor dan resistensi dari karyawan yang dapat mengganggu kemulusan proyek outsourcing. Resistensi ini muncul karena:
        a. Kekhawatiran karyawan perusahaan akan adanya PHK.
        b. Adanya penentangan dari karyawan atau serikat pekerja.
        c. Kekhawatiran outsourcing dapat merusak budaya yang ada.
        d. Kekhawatiran akan hilangnya kendali terhadap pekerjaan-pekerjaan yang dialihkan.
        e. Kekhawatiran bahwa kinerja vendor dalam melakukan pekerjaan yang dialihkan ternyata tidak sebaik saat dikerjakan sendiri oleh perusahaan.
  4. Terburu-buru dalam mengambil keputusan outsourcing.
    Proses pengambilan keputusan untuk outsourcing harus dilakukan dengan hati-hati, terencana dan mempunyai metodologi yang jelas dan teratur. Jika tidak, hal ini malah menjadikan outsourcing sebagai keputusan yang beresiko tinggi.
    Misalnya jika perusahaan tidak mengevaluasi penawaran dan kontrak secara hati-hati, akibatnya adalah timbul perselisihan antara perusahaan dengan vendor terkait pelaksanaan outsourcing.
  5. Outsourcing dimulai tanpa visi yang jelas dan pondasi yang kuat.
    Tanpa visi yang jelas dan pondasi yang kuat, tujuan dari proyek outsourcing tidak akan tercapai karena:
        a. Harapan perusahaan terhadap vendor tidak jelas.
        b. Perusahaan tidak siap menghadapi perubahan proses.
        c. Perusahaan tidak membuat patokan kinerja sebelum pengalihan kerja ke vendor.
        d. Peran dan tanggungjawab antara klien dan vendor yang tidak jelas.
        e. Tidak adanya dukungan internal.
        f. Lemahnya komunikasi atau manajemen internal.
        g. Lemahnya manajemen proyek, keputusan diserahkan sepenuhnya kepada vendor.




Perlukah DPR megadakan Kunjungan Kerja ke Luar Negeri?

           Kunjungan kerja atau studi banding para pejabat negara memang selalu menjadi perbinjangan yang msaih hangat dimasyarakat, kunjungan kerja tersebut dilakukan untuk studi banding penyusunan Rancangan Undang-undang diakomodir melalui Badan Urusan Rumah Tangga (BURT).  Tapi yang menjadi pertanyaan adalah apakah perlu kunjungan tersebut, dan apakah benar-benar mendatangkan manfaat, bukankah itu hanya sebuah pemborosan, dan terkesan hanya sekedar jalan-jalan (plesiran) yang tidak membawa manfaat dan menguntungkan diri pribadi?

            Menurut pakar pemerintahan I Gusti Bagus Adi mengatakan, kunjungan keluar negeri untuk studi banding merupakan suatu jenis pemborosan APBN ataupun APBD, apalagi kunjungan ke Negara-negara Eropa atau Amerika yang sudah jelas memiliki karakter dan budaya yang berbeda dengan Negara Indonesia dan tidak bisa diterapkan di Negara Indonesia. Aturan-aturan yang diterapkan di Negara lain, belum tentu bisa diterapkan di Negara Indonesia, jadi untuk itu tidak perlu lagi mengadakan kunjungan keluar negeri dengan alasan studi banding. Cukup dengan membaca buku-buku yang ada, ataupun dengan penerapan teknologi yang jaman sekarang sudah dapat mempermudah segalanya. Lagi pula sudah ada presiden yang bertemu dengan pejabat-pejabat negara lain.
            Menurut informasi dari yang saya dapat hingga saat ini ada dua kunjungan berbeda ke luar negeri. 22 anggota Badan Legislatif DPR studi banding ke Denmark dan Turki untuk membahas RUU Palang Merah Indonesia (PMI). Dan berdasarkan data Fitra anggaran Kunjungan Kerja ke luar negeri tahun 2012 mencapai Rp 140 miliar. 
        Jadi, jika memang kunjungan kerja tersebut hanya membuang-menbuang dana APBN, mengapa kegiatan tersebut masih saja muncul dan terus dilakukan oleh para pejabat kita.
        Dalam melakukan riset secara akademis kunjungan lapangan juga merupakan salah satu  sumber informasi yang amat berharga. Observasi secara langsung, bertemu masyarakat dengan kebiasaan yang berbeda, dan mengalami secara langsung kehidupan dengan sistem yang berbeda merupakan sesuatu yang sangat bernilai.
      Lalu bila suatu perjalanan atau studi banding bisa sedemikian bermanfaat mengapa ada pula studi banding yang dianggap mubazir dan tidak berguna? Perbedaannya adalah adanya program yang terarah dan output yang ditetapkan untuk dicapai. 

        Dalam beberapa kesempatan mendengar para kolega sesama peneliti yang pernah mendampingi pejabat (eksekutif maupun legislatif) melakukan studi banding kesan jalan-jalan tersebut tidak dapat dihilangkan. Dari sekian banyak yang ikut dalam\ rombongan biasanya hanya satu - dua orang yang benar-benar serius melakukan "studi". Selebihnya hanya mengikuti aliran acara dan menunggu-nunggu sesi bebas.
Pada sesi bebas itulah mereka umumnya melakukan plesir dan belanja. Selesai acara studi banding kesibukan mencari oleh-oleh menjadi lebih dominan ketimbang membuat rumusan hasil studi banding. Observasi, ilmu, pengalaman, atau hasil diskusi selama studi banding bisa menguap begitu saja. Padahal, semua itu adalah oleh-oleh terpenting buat bangsa ini yang telah membiayai perjalanan mereka.

 Lalu bagaimana agar studi banding di masa mendatang tidak mubazir?
Pertama, tentukan apakah perjalanan itu benar-benar perlu. Apakah tidak bisa dilakukan melalui desk study, converence call, film dokumenter, dan seterusnya.

Kedua, perlu disusun program kerja yang sangat tajam dan hemat anggaran. 

Ketiga, batasi pejabat yang harus berangkat kepada yang benar-benar perlu. Pejabat lainnya bisa mengikuti perjalanan mereka lewat video conference, twitter, atau BB messenger (toh pejabat sekarang juga sudah gemar nge-twit aktivitas mereka detik demi detik). 

Keempat, tetapkan output atau hasil studi banding secara tegas, apakah berupa dokumen, policy paper, rekaman, jurnal, catatan dan lainnya.
Terakhir, mungkin kita juga perlu memeriksa barang bawaan para pejabat sepulang studi banding. Apakah lebih banyak membawa buku, dokumentasi, rekaman perjalanan, atau justru kaos, coklat, dan cindera mata lainnya untuk sanak famili.