Sebagaimana telah kita ketahui bahwa kekayaan negara
yang dikelola oleh pemerintah mencakup dana yang cukup besar jumlahnya.
Pertanggungjawaban atas penggunaan dana untuk penyelenggaraan pemerintahan
seharusnya didukung dengan suatu pengawasan yang cukup andal guna menjamin
pendistribusian dana yang merata pada semua sektor publik sehingga efektivitas
dan efisiensi penggunaan dana bisa dipertanggungjawabkan.
Hal ini tertuang dalam ketetapan Standar Audit –
Aparat Pengawasan Fungsional Pemerintah (SA–SAFP) tahun 1996 oleh BPKP dengan
keputusan Kepala BPKP No. Kep-378/K/1996. SA-APFP secara garis besar mengacu pada Standar Profesional
Akuntan Publik (SPAP) yang berlaku di Indonesia. Penyelenggaraan auditing
sektor publik atau pemerintahan tersebut dilakukan oleh Badan Pengawasan
Keuangan dan Pembanguan (BPKP).
BPKP
merupakan suatu badan yang dibentuk oleh lembaga eksekutif negara (presiden),
yang bertugas untuk mengawasi dana untuk penyelenggaraan pembangunan negara
yang dilakukan pemerintah dan bertangungg jawab atas tugasnya pada pemerintah
juga.
Penyelenggaraan
akuntansi pemerintahan yang bertumpu pada sistem Uang yang Harus
Dipertanggungjawabkan (UYHD) berdasarkan SK Menteri Keuangan No.
217/KMK.03/1990 masih terlalu sederhana. Pemakaian uang yang digunakan dalam
proses penyelenggaaraan pemerintahan mengacu pada APBN atau APBD dan
pertanggungjawabannya hanya menyangkut pada berapa uang yang diterima dan
berapa uang digunakan.
Jadi, ada suatu kecederungan
bahwa penggunaaan dana bertumpu pada proses keseimbangan antara pemasukan dan
pengeluaran uang saja.
Dalam
melaksanakan audit di sektor publik (pemerintahan) perlu pembentukan suatu
lembaga audit yang independen yang benar-benar mempunyai integritas yang bisa
dipertanggungjawabkan kepada pihak publik. Oleh karenanya lembaga auditor
tersebut setidaktidaknya bernaung di bawah lembaga legislatif negara ataupun
merupakan lembaga profesional independen yang keberadaan mandiri, seperti
akuntan publik. Peraturan yang dikembangkan dalam Standar Auditing Sektor Publik
harus terbentuk oleh suatu lembaga ataupun badan yang
berdiri sendiri dan terlepas dari
praktik pengauditan, sebagai contoh organisasi AAA (American Accountant
Association) yang berada di Amerika.
Akuntansi sektor publik – dari berbagai informasi diperoleh bahwa pemahaman sektor publik sering
diartikan sebagai aturan pelengkap pemerintah yang mengakumulasi “utang sektor
publik” dan “permintaan pinjaman sektor publik” untuk suatu tahun tertentu. Artikulasi ini dampak dari sudut pandang ekonomi
dan politik yang selama ini mendominasi perdebatan sektor publik. Dari sisi
kebijakan publik, sektor publik dipahami sebagai tuntutan pajak, birokrasi yang
berlebihan, pemerintahan yang besar dan nasionalisasi versus privatisasi.
Terlihat jelas, dalam artian luas, sektor publik disebut bidang yang
membicarakan metoda manajemen negara. Sedangkan dalam arti sempit, diartikan
sebagai pembahasan pajak dan kebijakan perpajakan. Dari berbagai sebutan yang
muncul, sektor publik dapat diartikan dari berbagai disiplin ilmu yang umumnya
berbeda satu dengan yang lain.
Sejarah organisasi sektor publik sebenarnya sudah ada sejak ribuan tahun
yang lalu. Dalam bukunya, Vernon Kam (1989) menjelaskan bahwa praktik akuntansi
sektor publik sebenarnya telah ada sejak ribuan tahun sebelum masehi.
Kemunculannya lebih dipengaruhi pada interaksi yang
terjadi pada masyarakat dan kekuatan sosial didalam masyarakat. Kekuatan sosial
masyarakat, yang umumnya berbentuk pemerintahan. Organisasi sektor publik ini,
dapat diklasifikasikan dalam:
1. Semangat kapitalisasi
(Capitalistic Spirit).
2. Peristiwa politik dan ekonomi
(Economic and Politic Event).
3. Inovasi teknologi (Technology Inovation).
Pendekatan filosofi yang ada di sektor publik ialah
customer approach, market concept, individualism and self reliance,
purchaser/provider split, contarct culture, performace orientation, kompensasi
dan kondisi yang fleksibel. Pilihan-pilihan akan filosofi tersebut akan
menyebabkan perbedaan didalam kebijakan publik. Salah satu contoh adalah
perubahan dari masa orde baru kepada masa reformasi saat ini, dari sentralisasi
kepada desentralisasi, sosial ke mendekati pasar dan birokrasi ke lebih
penghargaan konsumen.
Dari berbagai buku Anglo Amerika, akuntansi sektor publik diartikan sebagai
mekanisme akuntansi swasta yang diberlakukan dalam praktik-praktik organisasi
publik. Dari
berbagai buku lama terbitan Eropa Barat, akuntansi sektor publik disebut
akuntansi pemerintahan. Dan diberbagai kesempatan disebut juga sebagai
akuntansi keuangan publik.
Berbagai perkembangan terakhir,
sebagai dampak penerapan dari pada accrual base di Selandia Baru, pemahaman ini
telah berubah. Akuntansi sektor publik didefinisikan sebagai akuntansi dana
masyarakat. Akuntansi dana masyarakat dapat diartikan sebagai: ”mekanisme
teknik dan analisis akuntansi yang diterapkan pada pengelolaan dana
masyarakat”. Dari definisi diatas perlu diartikan dana masyarakat sebagai dana
yang dimiliki oleh masyarakat – bukan individual, yang biasanya dikelola oleh
organisasi -organisasi sektor publik, dan juga pada proyek-proyek kerjasama
sektor publik dan swasta. Di Indonesia, akuntansi sektor publik dapat
didefinisikan: ”mekanisme teknik dan analisis akuntansi yang diterapkan pada
pengelolaan dana masyarakat di lembaga-lembaga tinggi negara dan departemen-departemen
dibawahnya, pemerintah daerah, BUMN, BUMD, LSM dan yayasan sosial, maupun pada
proyekproyek kerjasama sektor publik dan swasta”.
Perkembangan
akuntansi sektor publik di Indonesia – Penerapan Akuntansi Sektor Publik di
Indonesia Salah satu bentuk penerapan teknik akuntansi sektor publik adalah di
organisasi BUMN. Di tahun 1959 pemerintahan orde lama mulai melakukan
kebijakan-kebijakan berupa nasionalisasi perusahaan asing yang ditransformasi
menjadi Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Tetapi karena tidak dikelola oleh
manajer profesional dan terlalu banyaknya ‘politisasi’ atau campur tangan
pemerintah, mengakibatkan perusahaan tersebut hanya dijadikan ‘sapi perah’ oleh
para birokrat. Sehingga sejarah kehadirannya tidak memperlihatkan hasil yang
baik dan tidak menggembirakan.
Kondisi ini terus berlangsung
pada masa orde baru. Lebih bertolak belakang lagi pada saat dikeluarkannya
Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 1983 tentang fungsi dari BUMN. Dengan
memperhatikan beberapa fungsi tersebut, konsekuensi yang harus ditanggung oleh
BUMN sebagai perusahaan publik adalah menonjolkan keberadaannya sebagai agent
of development daripada sebagai business entity. Terlepas dari itu semua, bahwa
keberadaan praktik akuntansi sektor publik di Indonesia dengan status hukum
yang jelas telah ada sejak beberapa tahun bergulir dari pemerintahan yang sah.
Salah satunya adalah Perusahaan Umum Telekomunikasi (1989).
Deregulasi Akuntansi Sektor
Publik Di Era Pra Reformasi - Krisis ekonomi
dewasa ini telah membawa kita pada titik yang terburuk selama lebih dari 30
tahun. Dewasa ini kita menghadapi permasalahan yang bertumpuk-tumpuk. Ekonomi
kita mengalami kontraksi yang besar dengan laju inflasi yang tinggi. Nilai
tukar Rupiah jatuh, suku bunga tinggi.
Pengaruh kemarau yang
berkepanjangan pada tahun 1997, berdampak negatif pada produksi bahan makanan,
yang pada gilirannya kita harus mengimpor beberapa jenis bahan makanan dalam
jumlah yang cukup besar. Kegiatan produksi tersendat-sendat dan ekspor hasil
industri manufaktur menghadapi berbagai hambatan, antara lain, oleh karena
kesulitan untuk mengimpor bahan baku dan suku cadang.
Sebabnya oleh karena hilangnya
kepercayaan kepada perbankan nasional. Bank-bank dan perusahaan-perusahaan kita
menghadapi masalah hutang yang berat baik di dalam maupun di luar negeri.
Banyak industri telah mengurangi kegiatannya, bahkan ada yang telah
menghentikannya. Oleh karena itu telah terjadi pemutusan hubungan kerja yang
pada gilirannya telah menyebabkan meningkatnya jumlah pengangguran. Peningkatan
jumlah pengangguran yang berlangsung bersamaan dengan meningkatnya laju inflasi
telah mengakibatkan jumlah penduduk miskin mengalami peningkatan yang sangat
besar.
Sementara itu kontraksi dalam
kegiatan ekonomi dan anjloknya harga migas di satu pihak dihadapkan dengan
upaya untuk mengurangi dampak negatif terhadap penduduk berpendapatan rendah di
lain pihak pada gilirannya telah menyebabkan meningkatnya defisit dalam APBN.
Tingkat kepercayaan (confidence) masyarakat yang masih rendah, tercermin pada
kurs Rupiah yang belum stabil, walaupun selama bulan Agustus 1998 terlihat
adanya kecenderungan makin menguatnya Rupiah, berkonsekuensi terhadap peningkatan
harga-harga serta terhambatnya kegiatan produksi dan investasi di dalam negeri.
Sejalan dengan tuntutan reformasi
dan demokratisasi di segala bidang, kebijakan pemerintah di bidang hubungan
keuangan pusat daerah juga mengalami reformasi, dan secara bertahap akan terus
disempurnakan sesuai dengan perkembangan zaman. Arah reformasi hubungan
keuangan Pusat dan Daerah adalah untuk meningkatkan kinerja pengelolaan
keuangan negara dan daerah serta meningkatkan akuntabilitas publik. Reformasi
dimaksud meliputi pengaturan dana perimbangan, pajak dan retribusi daerah,
pinjaman daerah, serta pengelolaan keuangan daerah.
Pada era reformasi, masyarakat di
sebagian besar wilayah Indonesia, baik di propinsi, kota maupun kabupaten mulai
membahas laporan pertanggungjawaban kepala daerah masing-masing dengan lebih
seksama. Beberapa kali terjadi pernyataan ketidakpuasan atas kepemimpinan
kepala daerah dalam melakukan manajemen pelayanan publik maupun penggunaan
anggaran belanja daerah.
Melihat pengalaman di negara-negara
maju, ternyata dalam pelaksanaannya, keingintahuan masyarakat tentang
akuntabilitas pemerintahan tidak dapat dipenuhi hanya oleh informasi keuangan
saja. Masyarakat ingin tahu lebih jauh apakah pemerintah yang dipilihnya telah
beroperasi dengan ekonomis, efisien dan efektif.
Sesuai dengan literatur good
governance, perangkat hukum dan penegakkan hukum adalah prasyarat terbangunnya
suatu good governance. Dengan
segala hambatan dan keterbatasan yang kita miliki, semangat untuk membangun
Indonesia Baru dengan berbasiskan good governance masih terus hidup hampir di
segenap organisasi apakah itu organisasi Pemerintah maupun organisasi non
Pemerintah.
Dalam perspektif keuangan
khususnya Institusi Pemerintah, reformasi sudah mulai dibangun dengan
dikeluarkannya beberapa landasan hukum, pengenalan perangkat tehnologi untuk
mempercepat proses organisasi, dan pengenalan serta kewajiban untuk menerapkan
sistim organisasi dengan berbasiskan good governance kepada institusi
Pemerintah. Perubahan total dalam proses dan struktur serta “content-isi”
penganggaran pemerintah-APBN dan APBD serta Akuntansi merupakan 2 (dua) produk
utama untuk membangun sistim organisasi yang berbasiskan good governance. Namun
demikian, 2 (dua) produk reformasi keuangan ini akan tidak optimal jika tidak
di imbangi oleh kesiapan sumber daya manusianya untuk menerima dan mengimplemen
tasikan produk reformasi keuangan tersebut.
Disamping kesiapan dan kompetensi
serta didukung oleh budaya organisasi yang kondusif, faktor kualitas pelaporan
organisasi juga harus mampu di bangun untuk melakukan pemantauan dan evaluasi
terhadap sistim organisasi berbasiskan good governance. Dengan sistim pelaporan
yang efektif maka pengelolaan sumber daya organisasi khususnya sumber daya
ekonomi dapat dipertanggungjawabkan secara adil dan terbuka.
Sebagaimana kita ketahui bahwa
Pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang No.22 thn 1999 tentang Pemerintahan
Daerah dimana dalam pasal 30 disebutkan bahwa “setiap daerah dipimpin oleh
seorang kepala daerah sebagai kepala eksekutif yang dibantu oleh seorang wakil
kepala daerah”. Selanjutnya dalam pasal 44 ayat 3 dinyatakan bahwa “kepala
daerah wajib menyampaikan laporan atas penyelenggaraan Pemerintahan daerah
kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri dengan tembusan kepada Gubernur
bagi Kepala daerah Kabupaten dan Kepala daerah Kota, sekurang kurangnya sekali
dalam setahun, atau jika dipandang perlu oleh Kepala Daerah atau apabila
diminta oleh Presiden”.
Seiring dengan telah
dikeluarkannya berbagai perangkat hukum diatas, sebenarnya Ikatan Akuntan
Indonesia telah memberikan respon yang elegan dengan membentuk kompartemen baru
yaitu Kompartemen Akuntansi Sektor Publik. Melalui wadah kompartemen akuntansi
sektor publik ini, perkembangan organisasi profesi sektor publik khususnya
akuntansi sektor publik mulai menunjukkan titik terang.
Meskipun sedikit terlambat akibat
begitu dinamisnya lingkungan maupun struktur organisasi profesi sektor publik,
sebuah Draft Pernyataan Standar Akuntansi Pemerintah (selanjutnya disingkat PSAP)
telah dikeluarkan sebagaimana telah kita nantikan selama ini.
Negara Kesatuan Republik
Indonesia telah melakukan sebuah Reformasi Akuntansi sebagaimana dapat dilihat
dalam gambar dibawah ini, dimulai melalui Perangkat hukum yang jelas yang
diikuti oleh sebuah Standar Akuntansi Pemerintah sebagai acuan dasar
terbentuknya sebuah laporan keuangan yang memiliki prinsip-prinsip adil,
terbuka, dan dapat dipertanggungjawabkan kepada semua pihak.
Pelaksanaan otonomi daerah di
Indonesia pada tahun 2001 memunculkan jenis akuntabilitas baru, sesuai dengan
UU Nomor 22 Tahun 1999 dan UU Nomor 25 Tahun 1999. Dalam hal ini terdapat tiga
jenis pertanggungjawaban keuangan daerah yaitu (1) pertanggungjawaban
pembiayaan pelaksanaan dekonsentrasi, (2) pertanggungjawaban pembiayaan
pelaksanaan pembantuan, dan (3) pertanggungjawaban anggaran pendapatan dan
belanja daerah (APBD).
Sementara di tingkat pemerintah
pusat, pertanggungjawaban keuangan tetap dalam bentuk pertanggungjawaban
anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Saat ini di Indonesia sedang
dilakukan persiapan penyusunan suatu standar akuntansi pemerintahan yang lebih
baik serta pembicaraan yang intensif mengenai peran akuntan publik dalam
memeriksa keuangan negara maupun keuangan daerah.
Namun tampak bahwa akuntabilitas
pemerintahan di Indonesia masih berfokus pada sisi pengelolaan keuangan negara
atau daerah.
Pembaharuan manajemen keuangan
daerah di era otonomi daerah ini, ditandai dengan perubahan yang sangat
mendasar, mulai dari sistem pengganggarannya, perbendaharaan sampai kepada
pertanggungjawaban laporan keuangannya. Sebelum bergulirnya otonomi daerah,
pertanggungjawaban laporan keuangan daerah yang harus disiapkan oleh Pemerintah
Daerah hanya berupa Laporan Perhitungan Anggaran dan Nota Perhitungan dan
sistem yang digunakan untuk menghasilkan laporan tersebut adalah MAKUDA (Manual
Administrasi Keuangan Daerah) yang diberlakukan sejak tahun 1981.
Dengan bergulirnya otonomi
daerah, laporan pertanggungjawaban keuangan yang harus dibuat oleh Kepala
Daerah adalah berupa Laporan Perhitungan Anggaran, Nota Perhitungan, Laporan
Arus Kas dan Neraca Daerah. Kewajiban untuk menyampaikan laporan keuangan
daerah ini diberlakukan sejak 1 Januari 2001, tetapi hingga saat ini pemerintah
daerah masih belum memiliki standar akuntansi pemerintahan yang menjadi acuan
di dalam membangun sistem akuntansi keuangan daerahnya.
Kedua jenis laporan terakhir
yaitu neraca daerah dan laporan arus kas tidak mungkin dapat dibuat tanpa
didasarkan pada suatu standar akuntansi yang berterima umum di sektor
pemerintahan. Standar akuntansi pemerintahan inilah yang selalu menjadi
pertanyaan bagi pemerintah daerah, karena bagaimana mungkin suatu laporan
neraca daerah dapat disusun tanpa didasarkan suatu standar akuntansi.
Pertanyaan lain yang juga muncul adalah apakah standar akuntansi pemerintahan
ini harus mengacu sepenuhnya kepada praktek-praktek akuntansi yang berlaku
secara internasional ? Pemerintah Daerah masih banyak yang ragu dalam
menerapkan suatu sistem akuntansi keuangan daerah karena ketiadaan standar,
walaupun dalam penjelasan pasal 35 PP 105/2000 disebutkan bahwa sepanjang
standar dimaksud belum ada, dapat digunakan standar yang berlaku saat ini.
Lebih lanjut, dalam pasal-pasal lainnya disebutkan bahwa kewenangan untuk
menyusun sistem dan prosedur akuntansi sepenuhnya merupakan kewenangan daerah,
yaitu :
·
Pasal 14 ayat (1) menetapkan bahwa keputusan tentang pokok-pokok
pengelolaan keuangan daerah diatur dengan Peraturan Daerah sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
·
Pasal 14 ayat (3) menetapkan bahwa sistem dan prosedur pengelolaan keuangan
daerah diatur dengan Keputusan Kepala Daerah sesuai dengan Peraturan Daerah
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Dari ketentuan tersebut di atas,
seharusnya penerapan sistem dan prosedur akuntansi dalam rangka penyusunan
laporan keuangan daerah dapat menggunakan standar akuntansi yang ada atau
berlaku selama ini, tidak perlu harus menunggu standar akuntansi pemerintahan
yang disusun oleh Komite Standar Akuntansi Pemerintahan sesuai pasal 57 ayat
(2) UU Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Kewajiban pemerintah
daerah untuk menyusun neraca, laporan realisasi anggaran, laporan arus kas dan
nota perhitungan merupakan kewajiban yang tidak bisa ditunda-tunda karena hal
tersebut merupakan pertanggungjawaban kepala daerah kepada DPRD.
Tidak dipenuhinya kewajiban
tersebut tentunya akan membawa konsekuensi penolakan oleh DPRD, yang akan
menimbulkan dampak politis terhadap pemecatan Kepala Daerah karena dianggap telah
melanggar ketentuan hokum yang ada.
Ketiadaan
standar akuntansi pemerintahan , tidaklah berarti laporan keuangan pemerintah
daerah tidak dapat disusun. Ketentuan yang ada mengharuskan kepala daerah
menyampaikan pertanggungjawabkannya kepada DPRD dalam bentuk neraca, laporan
arus kas, laporan perhitungan/realisasi anggaran dan nota perhitungan. Sejak
awal tahun 2002, pemerintah daerah sudah membuat neraca awal daerah dengan
mengacu kepada Pedoman SAKD hasil Tim Pokja SK Menkeu 355/2001 dan Kepmendagri
29/2002 dan ketentuan-ketentuan yang berlaku serta praktek-praktek
internasional.
Hingga
saat ini, pemerintah daerah yang telah memiliki neraca daerah sebanyak 169
Pemerintah Daerah berdasarkan hasil asistensi yang dilakukan oleh BPKP sebagai
anggota Tim Pokja 355/2001. Hal ini merupakan tonggak sejarah bukan saja bagi
pemerintah daerah, tetapi juga bagi pemerintah Indonesia. Dengan adanya neraca
tersebut, maka laporan pertanggungjawaban keuangan daerah akan menjadi lebih
transparan dan akuntabel kepada publik .
SUMBER :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar