Rabu, 28 November 2012

Kasus inefisiensi PLN



Menjelang Hari Listrik Nasional lalu, yang jatuh pada 27 Oktober, media massa memberitakan bahwa DPR akan memanggil Direktur Utama PT Perusahaan Listrik Negara.
Pemanggilan itu terkait laporan Badan Pemeriksa Keuangan bahwa selama 2009-2010 PLN merugi dan mengalami inefisiensi Rp 37,6 triliun.
Masalah ini menarik untuk ditelaah mengingat sebelum masuk PLN, direktur utama yang saat ini menjabat sempat menyampaikan kritik bahwa pembangkit PLN salah minum solar. Justru sekarang, PLN minum solar lebih banyak, dan menyewa lebih banyak pembangkit diesel.
Namun, bagaimana jika langkah itu dimaksudkan untuk menghindari pemadaman di sejumlah wilayah? Mana yang potensi kerugiannya lebih besar: membakar BBM atau membiarkan krisis tenaga listrik yang berakibat pemadaman?
Mari kita bandingkan nilai gangguan listrik dengan biaya yang dibutuhkan untuk mengatasi gangguan. Apakah langkah pencegahan pemadaman listrik dengan menggunakan BBM merupakan kebijakan yang salah dan merugikan negara?

Nilai kerugian
Menggunakan BBM sebagai bahan bakar pembangkit memang mahal. Biaya bahan bakar dalam komponen biaya produksi listrik mencapai 30 persen. Sebagai ilustrasi pada tingkat harga solar Rp 9.000 per liter, unsur biaya bahan bakar pembangkit menjadi 0,3 liter/kWh x Rp 9.000 per liter > Rp 2.700/kWh.
Jika dikonversikan ke dollar AS, biaya bahan bakar pembangkit yang menggunakan solar 27 sen dollar AS/kWh (asumsi nilai tukar Rp 10.000/dollar AS 2010-2011). Ditambah unsur biaya modal serta biaya operasi dan pemeliharaan yang rata-rata 3 sen dollar AS/kWh, total biaya pembangkit yang menggunakan solar mencapai 30 sen dollar AS/kWh.
Sekarang, mari kita lihat nilai gangguan listrik yang diakibatkan oleh pemadaman terhadap kegiatan perekonomian yang merupakan korelasi antara tingkat pendapatan domestik bruto (TPDB) dan pertumbuhan (growth/G) dengan tingkat pemakaian tenaga listrik (TPL/E). Korelasi E dan G dinyatakan dengan rumus E > a.Gb. Sementara nilai gangguan akibat pemadaman listrik atau service interuption cost dinyatakan dengan rumus, SIC > dG/dE > G/(b.E).
Untuk Indonesia, dengan asumsi besaran G > 2.000 dollar AS/kapita, E > 500 kWh/kapita, dan b > 1,5 (b adalah koefisien elastisitas TPL dengan TPDB. Ketika G tumbuh 6 persen per tahun, E tumbuh 9 persen per tahun, nilai b > 9 persen/6 persen > 1,5), besaran nilai gangguan SIC adalah 2,70 dollar AS per kWh. Jika kita hitung nilai ekonominya, nilai gangguan listrik adalah 2,70/0,30 > 9 kali lebih besar dari pada biaya untuk mengatasi pemadaman listrik jika memakai BBM.

Pekerjaan rumah
Biaya pembangkitan dari PLTU batubara dan PLTGU gas alam sebenarnya lebih murah 5-6 sen dollar AS/kWh daripada pembangkit BBM. Namun, dengan keterlambatan proyek 10.000 megawatt dan tersendatnya pasokan gas untuk pembangkit PLN pada periode 2009-2010, penyediaan listrik dengan energi yang lebih murah tidak tersedia.
Langkah membiarkan pemadaman merupakan upaya mikro perusahaan, sekadar untuk mengurangi pengeluaran biaya perusahaan, minimalisasi rugi. Sementara menghilangkan pemadaman merupakan langkah ekonomi makro untuk menghindari pengurangan pendapatan domestik bruto nasional.
Tugas mencegah pemadaman yang merupakan upaya penting dalam pengamanan penyediaan pasokan listrik merupakan tugas kewajiban negara demi peningkatan kemakmuran, kesejahteraan, dan kenyamanan warga. Pelaksanaannya wajib diutamakan oleh PLN sebagai pelaksana penyediaan tenaga listrik di Tanah Air. Perlu dicatat bahwa nilai gangguan listrik tidak hanya terkait biaya keekonomian, tetapi juga terkait biaya politik, bahkan dapat berdampak pada ketahanan energi nasional.
Dari uraian di atas, upaya menghindari gangguan dengan menggunakan BBM ”tidak salah” ketika ketersediaan pasokan bahan bakar yang lebih murah tidak terjamin. Urusan pasokan bahan bakar adalah kewenangan pemerintah, bukan PLN yang memiliki kewajiban public service obligation. Namun, tentu saja ketiadaan jaminan pasokan bahan bakar yang mampu membuat PLN efisien ini jadi pekerjaan rumah besar yang harus diselesaikan.

Mekanisme tarif
Satu hal yang perlu digarisbawahi, sejak PLN didirikan belum tersedia mekanisme penetapan tarif dasar listrik (TDL) yang memungkinkan PLN jadi perusahaan mandiri dalam menjalankan kewajiban pelayanan publik. Langkah utama yang perlu dilakukan adalah depolitisasi penetapan TDL dengan mengubah peraturan perundangan. TDL selayaknya tidak lagi ditetapkan oleh presiden dengan persetujuan DPR, tetapi diatur dan ditetapkan oleh lembaga publik independen yang beranggotakan perwakilan konsumen, pemasok PLN, pemerintah, ahli, dan perguruan tinggi.
Badan ini serupa dengan Public Utility Board, yang di negara maju berhasil dalam penerapannya. Badan ini pula yang menetapkan TDL berlandaskan asas pengembalian biaya (cost recovery) untuk menjamin penyediaan dana pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan guna mencegah gagal listrik berkelanjutan. Pemerintah dan DPR berwenang menetapkan peraturan perundangan, termasuk penetapan subsidi dan pajak pada TDL, tetapi aspek teknis dan keuangan penetapan TDL merupakan wewenang dan tanggung jawab lembaga publik independen.
Dengan demikian, PLN dapat bertindak profesional, akuntabel dalam penyelenggaraan pelayanan, berani bersikap independen tidak dikendalikan politisi, siap berdialog secara terbuka, transparan, dan siap mengikutsertakan partisipasi publik.
Nengah Sudja Mantan Kepala Lembaga Masalah Ketenagalistrikan PT PLN



http://nasional.kompas.com/read/2012/11/07/08561676/Inefisiensi.PLN

Tidak ada komentar:

Posting Komentar