Kamis, 27 Desember 2012

Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BPMIGAS)

Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (disingkat: BPMIGAS) adalah lembaga yang dibentuk Pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 16 Juli 2002 sebagai pembina dan pengawas Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) di dalam menjalankan kegiatan eksplorasi, eksploitasi dan pemasaran migas Indonesia. Dengan didirikannya lembaga ini melalui UU No 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi serta PP No 42/2002 tentang BPMIGAS, masalah pengawasan dan pembinaan kegiatan Kontrak Kerja Sama yang sebelumnya dikerjakan oleh PERTAMINA selanjutnya ditangani langsung oleh BPMIGAS sebagai wakil pemerintah.
Badan ini dibubarkan Mahkamah Konstitusi melalui putusannya pada 13 November 2012 karena dianggap bertentangan dengan UUD 1945.

Keorganisasian
Wewenang
Dalam menjalankan tugas, BPMIGAS memiliki wewenang:
  • membina kerja sama dalam rangka terwujudnya integrasi dan sinkronisasi kegiatan operasional KKKS
  • merumuskan kebijakan atas anggaran dan program kerja KKKS
  • mengawasi kegiatan utama operasional kontraktor KKKS
  • membina seluruh aset KKKS yang menjadi milik negara
  • melakukan koordinasi dengan pihak dan/atau instansi terkait yang diperlukan dalam pelaksanaan Kegiatan Usaha Hulu
Susunan Organisasi
Kepala BPMIGAS : R Priyono
Wakil Kepala BPMIGAS : Hardiono
Deputi Perencanaan : Haposan Napitupulu
Deputi Pengendalian Operasi : Rudi Rubiandini
Deputi Pengendalian Keuangan : A. Syakhroza
Deputi Umum : J. Widjonarko
 Deputi Bidang Evaluasi dan Pertimbangan Hukum : Lambok H. Hutauruk

Kontraktor Kontrak Kerja Sama BPMIGAS
Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) terdiri dari perusahaan luar dan dalam negeri, serta joint-venture antara perusahaan luar dan dalam negeri. Daftar ini selalu berkembang, mengikuti dari tender konsesi yang dilakukan oleh BP Migas setiap tahunnya.

Pembubaran BPMIGAS
Pada tanggal 13 November 2012, Mahkamah Konstitusi memutuskan pasal yang mengatur tugas dan fungsi Badan Pelaksana Minyak dan Gas Bumi (BPMIGAS) yang diatur dalam UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki hukum mengikat.
Putusan MK itu berawal dari pengajuan Judicial Review oleh 30 tokoh dan 12 organisasi kemasyarakatan (ormas), di antaranya Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin, Lajnah Siyasiyah Hizbut Tahrir Indonesia, PP Persatuan Umat Islam, PP Syarikat Islam Indonesia, PP Lajnah Tanfidziyah Syarikat Islam, PP Al-Irsyad Al-Islamiyah, PP Persaudaraan Muslim Indonesia, Pimpinan Besar Pemuda Muslimin Indonesia, Al Jamiyatul Washliyah, Solidaritas Juru Parkir, Pedagang Kaki Lima, Pengusaha dan Karyawan (SOJUPEK), Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia, dan IKADI. Mereka menilai UU Migas membuka liberalisasi pengelolan migas karena sangat dipengaruhi pihak asing. Para tokoh itu dibantu oleh kuasa hukum Dr Syaiful Bakhri, Umar Husin, dengan saksi ahli Dr Rizal Ramli, Dr Kurtubi dan lain-lain.
MK memutuskan pasal yang mengatur tugas dan fungsi BPMIGAS dalam UU nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yaitu Frasa "dengan Badan Pelaksana" dalam Pasal 11 ayat (1), frasa "melalui Badan Pelaksana" dalam Pasal 20 ayat (3), frasa "berdasarkan pertimbangan dari Badan Pelaksana dan" dalam Pasal 21 ayat (1), frasa "Badan Pelaksana dan" dalam Pasal 49 UU Migas bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki hukum mengikat. MK juga menyatakan Pasal 1 angka 23, Pasal 4 ayat (3), Pasal 41 ayat (2), Pasal 44, Pasal 45, Pasal 48 ayat (1), Pasal 59 huruf a, Pasal 61, dan Pasal 63 UU Migas bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Pemerintah memutuskan mengeluarkan Perpres No 95/2012 untuk membentuk Satuan Kerja Sementara Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SK Migas), sebagai langkah pasca putusan Mahkamah Konsitusi tersebut.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar