Kunjungan kerja atau
studi banding para pejabat negara memang selalu menjadi perbinjangan yang msaih
hangat dimasyarakat, kunjungan kerja tersebut dilakukan untuk studi banding
penyusunan Rancangan Undang-undang diakomodir melalui Badan Urusan Rumah Tangga
(BURT). Tapi yang menjadi pertanyaan
adalah apakah perlu kunjungan tersebut, dan apakah benar-benar mendatangkan
manfaat, bukankah itu hanya sebuah pemborosan, dan terkesan hanya sekedar
jalan-jalan (plesiran) yang tidak membawa manfaat dan menguntungkan diri
pribadi?
Menurut pakar
pemerintahan I Gusti Bagus Adi mengatakan, kunjungan keluar negeri untuk studi
banding merupakan suatu jenis pemborosan APBN ataupun APBD, apalagi kunjungan
ke Negara-negara Eropa atau Amerika yang sudah jelas memiliki karakter dan
budaya yang berbeda dengan Negara Indonesia dan tidak bisa diterapkan di Negara
Indonesia. Aturan-aturan yang diterapkan di Negara lain, belum tentu bisa
diterapkan di Negara Indonesia, jadi untuk itu tidak perlu lagi mengadakan
kunjungan keluar negeri dengan alasan studi banding. Cukup dengan membaca
buku-buku yang ada, ataupun dengan penerapan teknologi yang jaman sekarang
sudah dapat mempermudah segalanya. Lagi pula sudah ada presiden yang bertemu
dengan pejabat-pejabat negara lain.
Menurut
informasi dari yang saya dapat hingga saat ini ada dua kunjungan berbeda ke
luar negeri. 22 anggota Badan Legislatif DPR studi banding ke Denmark dan Turki
untuk membahas RUU Palang Merah Indonesia (PMI). Dan berdasarkan data Fitra
anggaran Kunjungan Kerja ke luar negeri tahun 2012 mencapai Rp 140 miliar.
Jadi, jika memang kunjungan kerja tersebut hanya
membuang-menbuang dana APBN, mengapa kegiatan tersebut masih saja muncul dan
terus dilakukan oleh para pejabat kita.
Dalam
melakukan riset secara akademis kunjungan lapangan juga merupakan salah
satu sumber informasi yang amat
berharga. Observasi secara langsung, bertemu masyarakat dengan kebiasaan yang
berbeda, dan mengalami secara langsung kehidupan dengan sistem yang berbeda
merupakan sesuatu yang sangat bernilai.
Lalu bila suatu perjalanan atau studi banding bisa sedemikian bermanfaat mengapa ada pula studi banding yang dianggap mubazir dan tidak berguna? Perbedaannya adalah adanya program yang terarah dan output yang ditetapkan untuk dicapai.
Lalu bila suatu perjalanan atau studi banding bisa sedemikian bermanfaat mengapa ada pula studi banding yang dianggap mubazir dan tidak berguna? Perbedaannya adalah adanya program yang terarah dan output yang ditetapkan untuk dicapai.
Dalam beberapa kesempatan mendengar para kolega sesama peneliti yang pernah mendampingi pejabat (eksekutif maupun legislatif) melakukan studi banding kesan jalan-jalan tersebut tidak dapat dihilangkan. Dari sekian banyak yang ikut dalam\ rombongan biasanya hanya satu - dua orang yang benar-benar serius melakukan "studi". Selebihnya hanya mengikuti aliran acara dan menunggu-nunggu sesi bebas.
Pada sesi bebas itulah mereka umumnya melakukan plesir dan belanja. Selesai acara studi banding kesibukan mencari oleh-oleh menjadi lebih dominan ketimbang membuat rumusan hasil studi banding. Observasi, ilmu, pengalaman, atau hasil diskusi selama studi banding bisa menguap begitu saja. Padahal, semua itu adalah oleh-oleh terpenting buat bangsa ini yang telah membiayai perjalanan mereka.
Lalu bagaimana agar studi banding di masa mendatang tidak mubazir?
Pertama, tentukan apakah perjalanan itu benar-benar perlu. Apakah tidak bisa dilakukan melalui desk study, converence call, film dokumenter, dan seterusnya.
Pertama, tentukan apakah perjalanan itu benar-benar perlu. Apakah tidak bisa dilakukan melalui desk study, converence call, film dokumenter, dan seterusnya.
Kedua, perlu disusun program kerja yang sangat tajam dan hemat anggaran.
Ketiga, batasi pejabat yang harus berangkat kepada yang benar-benar perlu. Pejabat lainnya bisa mengikuti perjalanan mereka lewat video conference, twitter, atau BB messenger (toh pejabat sekarang juga sudah gemar nge-twit aktivitas mereka detik demi detik).
Keempat, tetapkan output atau hasil studi banding secara tegas, apakah berupa dokumen, policy paper, rekaman, jurnal, catatan dan lainnya.
Terakhir, mungkin kita juga perlu memeriksa barang bawaan para pejabat sepulang studi banding. Apakah lebih banyak membawa buku, dokumentasi, rekaman perjalanan, atau justru kaos, coklat, dan cindera mata lainnya untuk sanak famili.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar