Kamis, 27 Desember 2012

Dampak Outsourcing terhadap Kinerja Karyawan


       Pengaruh globalisasi yang mengidolakan instanisasi menyebabkan adanya perubahan pola hubungan kerja. Baik dari sisi pekerja atau pengusaha. Desakan persaingan global membuat perusahaan menambah metabolismenya, sehingga hak pekerja dipertanyakan keseriusannya. Hal ini turut mendorong maraknya system outsourcing. 

          Outsourcing sendiri secara harfiah berasal dari kata “out” yang berarti keluar dan “source” yang berarti sumber. Dari pengertian tersebut, maka dapat ditarik suatu definisi operasional mengenai outsourcing yaitu ; suatu bentuk perjanjian kerja sama antara perusahaan A sebagai pengguna jasa dengan perusahaan B sebagai penyedia jasa, dimana perusahaan A meminta kepada perusahaan B untuk menyediakan tenaga kerja yang diperlukan untuk bekerja di perusahaan A dengan membayar sejumlah uang, namun upah atau gaji tetap dibayarkan oleh perusahaan B kepada tenga kerja yang disuplay. Tenaga kerja inilah yang disebut dengan pekerja outsourcing.

         Istilah outsourcing mulai ramai diperdebatkan di Indonesia, pasca diterbitkannya Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketengakerjaan, dimana aturan tersebut ditengarai sebagai palang pintu lahirnya sistem kerja outsourcing yang sekarang dipraktekkan dimana-mana. Sebenarnya, didalam undang-undang ini, tidaklah mengenal penyebutan istilah outsourcing. Pengertian dari outsourcing itu sendiri dapat dilihat dalam beberapa ketentuan. Salah satunya adalah yang tertuang dalam pasal 64 Undang-undang ketengakerjaan ini, yang isinya menyatakan bahwa outsourcing merupakan suatu perjanjian kerja yang dibuat antara pengusaha dengan tenaga kerja, dimana perusahaan tersebut dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis. 

          Sementara dalam konteks hukum, pada pasal 1601 b KUH-Perdata, outsoucing disamakan dengan perjanjian pemborongan pekerjaan. Sehingga pengertian outsourcing secara tersirat dapat diartikan sebagai sebuah perjanjian, dimana pemborong mengikat diri untuk membuat suatu kerja tertentu bagi pihak lain yang memborongkan dengan menerima bayaran tertentu dan pihak yang lain yang memborongkan mengikatkan diri untuk memborongkan pekerjaan kepada pihak pemborong dengan bayaran tertentu.
Pekerjaan disub-kontrakkan (outsourcing) melahirkan persoalan, pada kenyataan sehari-hari outsourcing selama ini diakui lebih banyak merugikan pekerja/buruh, karena hubungan kerja selalu dalam bentuk tidak tetap/kontrak (PKWT), upah lebih rendah, jaminan sosial kalaupun ada hanya sebatas minimal, tidak adanya job security serta tidak adanya jaminan pengembangan karir dan lain-lain sehingga memang benar kalau dalam keadaan seperti itu dikatakan praktek outsourcing akan menyengsarakan pekerja/buruh dan membuat kaburnya hubungan industrial. 

      Sejumlah tesis yang mendukung sistem outsourcing selalu mengkaitkannya dengan perkembangan global dewasa ini. Bahwa di era globalisasi, sangat sulit untuk menghambat pergerakan arus modal yang begitu cepat dari suatu negara ke negara lain, dari suatu daerah ke daerah lain. Oleh karenanya, maka seluruh infra struktur hukum, sosial, ekonomi harus memberi kemudahan bagi laju pergerakan modal. Namun paradigma ini telah menempatkan modal menjadi segalanya. Manusia seakan diharuskan mengabdi kepada kekuatan modal. Akibatnya, modal bukan saja menjadi liar dan lepas dari nilai-nilai moral kemanusiaan, juga melahirkan kesenjangan yang semakin menganga antara pemilik modal dan pekerja/buruh, antara yang kaya dan miskin serta antara negara maju dan negara yang sedang berkembang.

      Selain itu, Praktek outsourcing dinilai mampu menyerap lapangan kerja dan mengatasi pengangguran berdasarkan asumsi bahwa jika pola system kerja outsourcing yang diterapkan, maka secara langsung membuka kesempatan bagi siapa saja untuk berkompetisi. Bahkan bagi mereka yang sebelumnya berada pada sektor informal, dapat terseret kedalam sector formal yang lebih terproteksi dan menjanjikan. Namun, timbul permasalahan terhadap pola adaptasi kerja yang merupakan salah satu kelemahan system kerja outsourcing ini. Harapan untuk meningkatkan kinerja dan keuntungan perusahaan, justru akan menjadi boomerang dikemudian hari.
Outsourcing juga dianggap akan lebih mampu menyerap tenaga kerja tanpa diskriminasi. Alasan ini lebih kepada mengugat pola praktek perusahaan keluarga (closed corporation) yang lebih mengukur serapan tenaga kerja suatu perusahaan berdasarkan garis keturunan dan hubungan kekeluargaan yang menghalangi perusahaan untuk memenuhi mekanisme pasar. Dengan praktek outsourcing, tradisi yang sudah usang ini akan secara otomatis terkikis. Secara prinsip, outsourcing akan lebih membuka persaingan tenaga kerja yang lebih kompetitif sesuai dengan kehendak dan kebutuhan pasar tenaga kerja.

Namun, Hampir semua elemen gerakan serikat buruh dengan tegas menyatakan penolakannya terhadap outsourcing. Ada banyak alasan yang mengemuka atas penolakan tersebut yang kesemuanya bermuara pada tidak adanya perlindungan yang bersifat mendasar terhadap hak-hak pekerja di tempat kerja serta keadilan dan kesejahteraan yang semakin jauh dari kehidupan pekerja. 

Pertama, sistem kerja outsourcing membuat status hubungan kerja buruh menjadi tidak jelas. jika seseorang bekerja pada perusahaan A (second company), dimana sebelumnya disalurkan oleh perusahaan B (parent company), maka ketika terjadi pelaggaran hak-hak normatif (upah dibayar lebih rendah dari UMP/UMK, jam kerja yang berlebihan, lembur yang tidak dibayar, tunjangan hari raya yang tidak diberikan, pelarangan cuti, PHK, dll), sulit untuk memproses hal hal tersebut. Bahkan kerap terjadi, baik perusahaan A maupun perusahaan B, saling lempar tanggung jawab terhadap tuntutan yang diinginkan.

Kedua, outsourcing berakibatkan kepada semakin lemahnya posisi buruh dalam perusahaan. Hal tersebut dilatar belakangi oleh status hubungan kerja yang sifatnya sementara dengan masa kerja yang ditetapkan selama kurung waktu tertentu (1 tahun, 2 tahun, bahkan ada yang hanya berkisar 3-4 bulan). Hal ini berakibat semakin kuatnya posisi pengusaha jika berhadapan dengan pekerja, sehingga memberikan ruang yang sangat besar bagi pengusaha tersebut untuk menindas buruh dalam perusahaannya. Pengusaha dapat dengan sewenang-wenang memberhentikan buruh (PHK) sesuai dengan kemauannya. Ketakutan berserikat, berkumpul, menuntu perbaikan, serta menyatakan pendapat-pun menjadi terbatasi akibat posisi tawar buruh yang lemah ini, ditambah ancaman PHK yang sewaktu-waktu dapat dilakukan oleh pengusaha.

Ketiga, outsourcing akan menghilangkan hak serta jaminan masa depan buruh. Sederhananya, tidak adanya jaminan biaya hidup yang harus dihadirkan oleh perusahaan jika suatu saat nanti buruh sudah tidak memiliki produkstivitas kerja yang baik dan maksimal akibat factor fisik (pension), dan atau penghargaan kerja yang menjadi kewajiban pengusaha akibat terputusnya hubungan kerja (PHK).
Keempat, outsourcing mempraktekkan dehumanisasi atau pengingkaran hak dasar seseorang layaknya manusia yang bebas dan merdeka. System kerja outsourcing ini sama sekali tidak menghargai buruh layaknya sebagai seorang manusia. Sebab, outsourcing tidak lebih dari bentuk perdagangan manusia kepada manusia lainnya (trafficking). Dimana buruh tak ubahnya seperti barang yang diperjual belikan oleh pengusaha.

Kelima, outsourcing akan mengakibatkan tingkat pengangguran yang semakin tinggi. Hal ini disebabkan oleh syarat kerja outsourcing yang menekankan keterampilan kerja (labour skill) yang kompetitif, sementara kondisi buruh di Indonesia sama sekali belum memadai untuk memiliki keterampilan multi-bidang. Misalnya saja seorang buruh disektor informal yang tiba-tiba harus diserap oleh sector formal, maka akan menjadi kontra-produktif akibat adaptasi yang membutuhkan waktu yang lama.

Keenam, outsourcing akan semakin meminimalisir fungsi dan peran serikat (worker’s organization) dalam perusahaan, bahkan akan dihilangkan sama sekali jika perusahaan menghendakinya. Hal tersebut dikarenakan hubungan kerja kita dalam perusahaan akan lebih bersifat individu, antara pekerja dengan pengusaha. Dengan demikian upaya perjuangan hak dan kepentingan kita melalui serikat, akan semakin terbatasi secara langsung, terlebih ketika ancaman PHK oleh perusahaan semakin mudah dilakukan setiap saat akibat posisi tawar yang lemah tersebut.
Pada prinsipnya, pekerjaan yang di-outsource adalah memang bukan pekerjaan inti dari perusahaan. Awalnya, karena dianggap bukan sebagai pekerjaan inti, maka seharusnya pekerjaan tersebut tdak rutin ada dalam perusahaan. Namun kemudian berkembang konsep, bahwa pekerjaan outsource mungkin saja akan terus ada sebab pekerjaan outsource tidak sama dengan pekerjaan project yang memiliki batas waktu.Sementara itu, peraturan pemerintah dengan batas perpanjangan waktu masih mendukung konsep lama.

       Jenis Pekerjaan Masih akan terus menjadi perdebatan dan akan tetap sulit dilakukan dalam mendefinisikan secara tegas apakah suatu pekerjaan yang dilakukan oleh seorang pekerja termasuk dalam kategori kegiatan pokok (core business) atau kegiatan penunjang. UUK No. 13/2003 itu sendiri hanya memberikan sedikit penjelasan tentang kegiatan penunjang tapi tidak memberikan penjelasan yang komprehensif tentang apa yang dimaksud dengan kegiatan pokok.
Kendati UU No. 13 mengisyaratkan agar syarat perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh yang dioutsourcing sekurang-kurangnya sama dengan perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi kerja atau sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku adalah hal yang sangat sulit untuk diwujudkan. Kalangan pengusaha melakukan pola hubungan kerja seperti itu justru dengan pertimbangan bahwa biayanya lebih murah dan resikonya lebih ringan. 

          Harus diakui bahwa untuk jenis pekerjaan yang bersifat sementara (temporary job) memang tidak mungkin dilakukan dengan mengangkat seorang pegawai tetap. Tinggal bagaimana membuat aturan yang jelas dan ketat tentang jenis-jenis pekerjaan yang bersifat sementara serta jangka waktu paling lama untuk menjalin hubungan kerja yang bersifat kontrak tersebut. Juga perubahan status dari karyawan kontrak menjadi karyawan tetap serta syarat-syarat kerja karyawan kontrak yang tidak boleh kurang dari yang diberlakukan terhadap karyawan tetap. 




Tidak ada komentar:

Posting Komentar